Pekat atau Penat Munajat
…
Puisi 4 Baris bergambar di atas berjudul Pekat atau Penat Munajat karya TommyOgut
tersebab apa jemari-jemari kerap mengaksarakan rasa melalui puisi,
berharap kelak sajaklah yang akan mengekalkan rahasia-rahasianya,
segala rahasia-rahasia hati di luasnya semesta kata-kata,
ketika waktu perlahan-lahan akan menuakan dan membunuh rindu
saya dan sepi sedang berdiskusi
saya tidak ingin kopi, saya hanya ingin secangkir diksi
kami menikmati secangkir diksi dengan penuh hikmat
sejak hari itu saya sangat mencintai sepi dengan teramat sangat.
Aku hanya sekeping rasa
Yang kemudian menjelma menjadi sebuah asa
Asa yg dulu pernah di bangun bersama
Sebelum Akhir nya dia pergi meninggalkan jejak yg ku sebut luka.
Di halaman rumah yang mirip katedral itu aku membaca buku puisi, tapi yang kutemukan adalah kota-kota yang berarak di kepalaku dan saling bertolak belakang dengan awan yang ku anggap untuk lebih berhak begitu.
Sesekali muncul sepasang burung yang mungkin saja tersesat.
Untuk mengembalikan konsentrasiku, aku kembali ke halaman pertama buku...
Kubuka gawai
Tergambar jelas potret kita
Kukira api rindu akan padam
Nyatanya ia semakin menghujam
Semua tertolak oleh Naluri.
Hari hari pikiran pun dihantui ketidakbebasan jiwa,
Aku yang sedang terpenjara dalam ruang hampa yang panas, hingga peluh-peluhku menenggelamkanku sedalam penyesalanku.
jiwaku meronta, ruhku menjerit, seakan tahu bahwa semua yang dijalani ini adalah kedustaan yang menindas dan kepalsuan yang dipertontonkan.
menata pesona dalam kalutnya jiwa hanya akan membuat lungkrah jiwa itu seperti istana pasir yang tergerus ombak membadai. sungguh, tak sanggup aku mencari padanan yang terlampau membuyarkan dengan pasti, dengan pasi yang lebih pucat dari purnama menjelma bidadari kesunyian dalam kalut di gelombang abadi.
jika kelak terbersit tanya dalam pikiranmu...
Menetap atau meratap,
Yang selalu ditatap tidak berjanji akan menetap,
Alang langit mulai gelap,
Bilaman awan ingin meratap
Suatu taman hati dibukit mimpi,
Bertebaran wangi koloni melati,
Tinggal lah disini gadis tanah tepi,
Meski rindu memaksa bebas dari ruang dan dimensi.
Saya sempat melihat penat dalam sebuah harapan;
Ia berjalan tanpa mengenakan alas kaki;
Diam tanpa aksara menyusuri dinding-dinding halnya nurseri yang bersapa oleh lara.
“Saya ada dimana?” Ujarnya sambil berbisik kepada musim kemarau di bulan Februari.
Hunus saja sajak yang tersarung kelu di lidahmu.
Untuk coba congkel apa yang terselip diantara bait terpahit.
Setelah lama kau cari dengan matamu yang menyipit.
Sisakan walau sedikit. Kelak, juga akan terasa legit.
Ketika pagi datang, sinar menguning yang semakin terang perlahan menghangatkan. Lama-lama membakar lalu padam menjadi jingga yang kemudian tenggelam dalam kelamnya malam.
Begitu cepat waktu bergulir, dengan dan terkadang tanpa sadar berlalu.
Mendongak untuk melihat dan merenungi setiap pergantian proses dan warna, dengan hati dipenuhi risau.
Apakah...
Sebatas kota mimpi
Aku singgah di tempat yang mengisi banyak cerita dan puisi
Pada malam yang lebih pasti
Ku jumpai dirimu pada hamparan wajah bersinar dilangit
: Syailendra
Aku hidup di jaman kardus. Jaman sekarang, milik semua orang. Di jaman semua orang ini, para pemimpin terbuat dari plastik, figur panutan bertubuh karet, penegak keadilan adalah besi kokoh tapi berkarat. Mereka menguasai air, angin, matahari, dan memonopoli hujan.
Aku adalah kardus yang terempas karena angin kencang, hancur...