Puisi Fariz Kellen Berjudul Rintihan Bumi 6 Bait 24 Baris
F
Rintihan Bumi
© Fariz Kellen
Hening berkawan mentari
Diam-diam sepi dalam ramai
Semakin ke tepi aku sepi
Aku dan mentari belum mengerti
Bayang-bayangku terusik kisah
Kala laut terhempas di tepi pantai
Tanpa kata dan bahasa
Gelora ombak penuh misteri
Senja telah gugur dari bumi
Gelap gulita memulai cerita
Derita bumi seorang diri
Menanggung tangisku dari sudut kota
Bumi pun turut menangis dalam sepi
Bintang-bintang tidak bersahabat
Bulan telah pergi
Hening paling pedih menikam hati
Terdengar sayup-sayup basah
Rintihan bumi
Menembus batas-batas kisah
Yang tersimpan di dasar sukma ini
Kisah para penghuni bumi
Yang telah gugur bersama senja
Mendesak bumi teriak dalam hening
Merintih penuh melahirkan duka
Puisi “Rintihan Bumi” berhasil menyuguhkan nuansa melankolis yang mendalam, menggambarkan kesedihan yang dirasakan oleh bumi dan makhluk hidup di atasnya. Penggunaan diksi yang sederhana namun kuat menciptakan atmosfer yang sangat emosional. Frasa seperti ‘Bumi pun turut menangis dalam sepi’ mengajak pembaca untuk merasakan empati pada alam yang seolah menyimpan duka. Namun, meskipun keindahan bahasa yang digunakan terasa puitis, terdapat beberapa bagian yang bisa lebih dieksplorasi untuk memperkaya makna. Misalnya, pertanyaan retoris tentang ketidakpahaman antara manusia dan alam dapat lebih ditonjolkan. Keaslian ide tentang ‘rintihan’ bumi sebagai representasi dari kesedihan global merupakan gagasan yang menarik, meskipun tidak sepenuhnya baru. Kedalaman makna puisi ini cukup mengena, terutama dalam konteks lingkungan dan kemanusiaan. Namun, elemen kejutan dalam penyampaian masih terbilang minim, meskipun beberapa bait memberikan momen reflektif. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan karya yang menggugah dan layak diapresiasi, meski masih memiliki ruang untuk berkembang lebih jauh.