Puisi Aku Berjudul Nona 6 Bait 24 Baris
A
Nona
© Aku
Tahukah kau nona?
Merona wajahmu membuat kalbuku meronta,
rasa ingin bersatu makin terhampar
Tapi yang kutahu
"Ratu yang bersatu dengan jelata hanyalah dongeng belaka".
Tahukah kau nona?
Gulita meraung di ruang yang sunyi,
kalbu tiada hentinya sedan sedu,
dan rinduku tak terbatas,
tak terbalas,
lara ku pun makin terendap.
Tahukah kau nona?
Aku hanya pandai berkata,
tiada bisa berlaga,
tapi semua rasaku tiada tara.
Tahukah kau nona?
Aku hanyalah titik, diatas secarik kertas.
Entah kau melihatku atau tidak, tapi tak apa.
Aku pun tak peduli jua.
Nona,
percayalah haru biru kalbuku menggelora atas senyummu itu
Nona,
aku mulai kehabisan kata-kata,
percayalah semua itu benar adanya...
Puisi “Nona” berhasil menangkap nuansa kerinduan dan ketidakberdayaan seorang penyair yang terpesona oleh sosok yang dicintainya. Dengan penggunaan repetisi frase “Tahukah kau nona?”, penulis menciptakan kesan mendalam akan kerinduan yang terpendam, seolah mengajak pembaca untuk merasakan gelora emosi yang menggelora dalam jiwa sang penggubah. Bahasa yang digunakan, meski sederhana, memiliki daya tarik tersendiri dan mampu menimbulkan imaji yang kuat tentang cinta yang terhalang. Namun, di balik keindahan tersebut, terdapat elemen yang terasa klise, terutama dalam ungkapan-ungkapan tentang cinta yang tak terbalas. Keaslian ide masih bisa ditingkatkan dengan mengeksplorasi perspektif yang lebih unik atau memberikan twist yang tak terduga. Kendati demikian, kedalaman makna puisi ini cukup memuaskan, mencerminkan perasaan manusiawi yang universal. Secara keseluruhan, “Nona” adalah puisi yang menyentuh, meski ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut dalam hal inovasi dan kejutan.