Puisi anonym Berjudul Kepada Bunda (di Surga) 7 Bait 24 Baris
Kepada Bunda (di Surga)
apa kabar, ibu?
semalam kau menjengukku dalam rintih hujan
serupa hatiku yang tak kalah pilu
dengan senyuman paling menawan yang pernah kau tawarkan
betapa seringkali aku mengalami percobaan, Ibu
dan engkau selalu datang dengan ikhlas
bersama kehangatan yang tiada pernah terpangkas
ingin menangis aku, Ibu
di pangkuanmu aku ingin tumpahkan duka
dan kau selalu hadir membasuh laraku
dengan airmata yang tak pernah bosan mengalir di pipimu
untukku, putramu yang tak pernah lagi ingat pusaramu
aku ingin mengahadapmu, Ibu
bagai Bhisma yang terajam anak panah Arjuna
dengan seluruh ketakberdayaanku
dengan seluruh lelahku tanpamu di sampingku
namun kau tahan bibir ini dengan lentik jemarimu
kau usap dahi ini yang berpeluh darah
dan kau berkata, belum saatnya
kapan tiba saatnya, Ibu?
aku ingin menemanimu dan tunaikan kewajibanku terhadapmu
yang dulu tertahan keadaan
yang dulu musti tak kuhiraukan seruan sucimu
duhai, Ibu.
Puisi ‘Kepada Bunda (di Surga)’ menyentuh hati dengan ungkapan kerinduan yang mendalam dan cinta yang abadi. Dengan latar belakang hujan yang melambangkan kesedihan, penulis berhasil menghidupkan suasana emosional yang kuat, menciptakan koneksi yang intim antara penulis dan sosok Bunda. Penggunaan metafora seperti ‘Bhisma yang terajam anak panah Arjuna’ memberikan nuansa epik dan menunjukkan betapa besar perjuangan penulis dalam menghadapi kehilangan. Meskipun bahasa yang digunakan terkesan sederhana, keindahan terletak pada ketulusan dan kejujuran yang disampaikan. Namun, masih ada ruang untuk eksplorasi lebih dalam dalam hal keaslian ide, yang terasa cukup universal dengan tema kehilangan. Kedalaman makna pun cukup terasa, meskipun ada elemen kejutan yang bisa lebih dikembangkan untuk memberikan dampak yang lebih mendalam. Secara keseluruhan, puisi ini adalah sebuah penghormatan yang indah kepada sosok Ibu, yang berhasil menyentuh hati pembaca.