
kutundukkan kepalaku
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
a luta continua
kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncang
kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-ibu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu
tapi bukan cuma anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan!
kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
4 juli 1997
Puisi “Tujuan Kita Satu Ibu” ini mampu menghadirkan kekuatan emosional yang mendalam, di mana penulis dengan lugas menyampaikan kesedihan dan perlawanan terhadap penindasan. Penggunaan frasa repetitif “kutundukkan kepalaku” memberikan nuansa penghormatan sekaligus penyerahan yang penuh makna, seolah melambangkan pengabdian kepada para korban. Keindahan bahasanya, meskipun terkesan sederhana, berhasil menyentuh hati pembaca, menjadikannya mudah dipahami namun tetap berisi. Dari segi keaslian ide, puisi ini mencerminkan realitas sosial yang relevan dan kritis, menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Kedalaman makna yang terkandung di dalamnya juga sangat kuat, mengajak pembaca untuk merenungkan tentang hak asasi dan perjuangan. Namun, elemen kejutan dalam puisi ini tampak minim, karena tema yang diangkat sudah sering ditemukan dalam karya-karya serupa. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan pernyataan yang kuat dan berani, menciptakan resonansi yang mendalam di hati para pembacanya.