
Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27 februari 88
Puisi “Suti” menghadirkan gambaran yang kuat dan realistis tentang kehidupan seorang buruh yang terperangkap dalam kesengsaraan. Dengan bahasa yang sederhana namun tajam, penyair berhasil mengekspresikan rasa sakit dan perjuangan yang dialami Suti. Penggambaran fisik dan emosional Suti, yang terkurung dalam rutinitas harian dan masalah kesehatan, menciptakan resonansi yang mendalam bagi pembaca. Penggunaan repetisi, seperti dalam kalimat ‘Suti tidak’, menggambarkan keputusasaan secara efektif. Meskipun puisi ini memiliki kekuatan dalam menyampaikan pesan sosial, keindahan bahasa yang digunakan terkesan fungsional dan kurang berupaya menciptakan estetika yang lebih mendalam. Ide yang diangkat adalah hal yang umum dan mungkin telah dieksplorasi sebelumnya dalam konteks lain, meski tetap relevan. Kedalaman makna hadir dalam konteks sosial yang kuat, namun elemen kejutan terasa kurang memikat, sehingga pembaca mungkin sudah dapat memperkirakan alur cerita. Secara keseluruhan, puisi ini menyentuh dan menggugah, meskipun masih ada ruang untuk eksplorasi bahasa yang lebih kaya.