
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. KIta tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
Puisi “Silhuet (1965)” mengajak pembaca merasakan nuansa melankolis yang mendalam melalui gambaran alam yang saling terikat dengan pengalaman manusia. Penggunaan repetisi frasa ‘Gerimis telah menangis’ dan ‘Kita’ menciptakan efek emosional yang kuat, menggambarkan kesedihan dan keterasingan. Elemen gerimis sebagai simbol kedukaan dan ketidakpastian terasa sangat tepat dan menyentuh. Keindahan bahasa yang digunakan, meskipun sederhana, mampu menimbulkan imaji yang kuat, terutama kata-kata seperti ‘bayang-bayang’ dan ‘kabut yang ungu’ yang mengundang rasa ingin tahu. Namun, saya merasa bahwa ide yang diangkat meski cukup orisinal, terkadang terdengar klise dalam konteks puisi tentang kesedihan dan kehilangan. Kedalaman makna yang terkandung dalam penggambaran ‘bumi yang letih’ dan ‘jasad yang pedih’ memberikan dimensi yang lebih dalam, namun dapat lebih dieksplorasi. Elemen kejutan dalam puisi ini relatif minim, dengan ritme yang terjaga namun kurang memberikan twist yang mengejutkan. Secara keseluruhan, puisi ini menarik dan menyentuh, meski ada ruang untuk eksplorasi lebih lanjut.