Silhuet (1965)

Taufiq Ismail

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang lelah

Angin jalanan yang panjang

Tak ada rumah. KIta tak berumah

Kita hanya bayang-bayang

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang letih

Di atas jasad yang pedih

Kita lapar. Kita amat lapar

Bayang-bayang yang lapar

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang sepi

Sehabis pawai genderang

Angin jalanan yang panjang

Menyusup-nyusup

Menusuk-nusuk

Bayang-bayang berjuta

Berjuta bayang-bayang

Di bawah bayangan pilar

Di bawah bayangan emas

Berjuta bayang-bayang

Menangisi gerimis

Menangisi gunung api

Kabut yang ungu

Membelai perlahan

Hutan-hutan

Di selatan.

Share your love

One comment

  1. Keaslian Ide
    3
    Elemen Kejutan
    2
    Kekuatan Emosi
    4
    Kedalaman Makna
    4
    Keindahan Bahasa
    4
    3.4/5
    OVERALL SCORE

    Puisi “Silhuet (1965)” mengajak pembaca merasakan nuansa melankolis yang mendalam melalui gambaran alam yang saling terikat dengan pengalaman manusia. Penggunaan repetisi frasa ‘Gerimis telah menangis’ dan ‘Kita’ menciptakan efek emosional yang kuat, menggambarkan kesedihan dan keterasingan. Elemen gerimis sebagai simbol kedukaan dan ketidakpastian terasa sangat tepat dan menyentuh. Keindahan bahasa yang digunakan, meskipun sederhana, mampu menimbulkan imaji yang kuat, terutama kata-kata seperti ‘bayang-bayang’ dan ‘kabut yang ungu’ yang mengundang rasa ingin tahu. Namun, saya merasa bahwa ide yang diangkat meski cukup orisinal, terkadang terdengar klise dalam konteks puisi tentang kesedihan dan kehilangan. Kedalaman makna yang terkandung dalam penggambaran ‘bumi yang letih’ dan ‘jasad yang pedih’ memberikan dimensi yang lebih dalam, namun dapat lebih dieksplorasi. Elemen kejutan dalam puisi ini relatif minim, dengan ritme yang terjaga namun kurang memberikan twist yang mengejutkan. Secara keseluruhan, puisi ini menarik dan menyentuh, meski ada ruang untuk eksplorasi lebih lanjut.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *