
Tuhan kami,
Telah nista kami dalam dosa bersama,
Bertahun membangun kultus ini,
Dalam pikiran yang ganda…
Dan menutupi hati nurani,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…
Tuhan kami,
Telah terlalu mudah kami,
Menggunakan asmamu,
Bertahun di negeri ini,
Semoga…
Kau rela menerima kembali,
Kami dalam barisanmu,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…
Puisi “Doa (1966)” menciptakan resonansi emosional yang dalam melalui penggambaran kerentanan manusia dalam menghadapi kesalahan dan dosa. Pengulangan frasa ‘Ampunilah kami’ menegaskan kerinduan yang tulus untuk mendapatkan pengampunan, menciptakan nuansa harap sekaligus penyesalan. Keindahan bahasa dalam puisi ini terletak pada kesederhanaannya yang penuh makna, di mana setiap kata dipilih dengan cermat untuk menciptakan kesan mendalam tanpa berlebihan. Ide yang diusung pun terasa orisinal, berangkat dari tema universal tentang pencarian pengampunan dan kedamaian batin. Namun, meskipun puisi ini menyentuh banyak aspek, kedalaman makna yang terkandung tetap bisa dieksplorasi lebih jauh, terutama dalam konteks spiritual yang lebih luas. Elemen kejutan dalam puisi ini cenderung minim, karena tema doa dan pengampunan adalah tema yang sering diangkat dalam sastra, namun penyampaian yang tulus tetap memberikan dampak yang kuat. Secara keseluruhan, puisi ini berhasil menyentuh banyak lapisan emosi dan pikiran, menjadikannya karya yang layak untuk direnungkan lebih dalam.