Sajak Tangan

W.S. Rendra

Inilah tangan seorang mahasiswa,

tingkat sarjana muda.

Tanganku. Astaga.

Tanganku menggapai,

yang terpegang anderox hostes berumbai,

Aku bego. Tanganku lunglai.

Tanganku mengetuk pintu,

tak ada jawaban.

Aku tendang pintu,

pintu terbuka.

Di balik pintu ada lagi pintu.

Dan selalu :

ada tulisan jam bicara

yang singkat batasnya.

Aku masukkan tangan-tanganku ke celana

dan aku keluar mengembara.

Aku ditelan Indonesia Raya.

Tangan di dalam kehidupan

muncul di depanku.

Tanganku aku sodorkan.

Nampak asing di antara tangan beribu.

Aku bimbang akan masa depanku.

Tangan petani yang berlumpur,

tangan nelayan yang bergaram,

aku jabat dalam tanganku.

Tangan mereka penuh pergulatan

Tangan-tangan yang menghasilkan.

Tanganku yang gamang

tidak memecahkan persoalan.

Tangan cukong,

tangan pejabat,

gemuk, luwes, dan sangat kuat.

Tanganku yang gamang dicurigai,

disikat.

Tanganku mengepal.

Ketika terbuka menjadi cakar.

Aku meraih ke arah delapan penjuru.

Di setiap meja kantor

bercokol tentara atau orang tua.

Di desa-desa

para petani hanya buruh tuan tanah.

Di pantai-pantai

para nelayan tidak punya kapal.

Perdagangan berjalan tanpa swadaya.

Politik hanya mengabdi pada cuaca­..

Tanganku mengepal.

Tetapi tembok batu didepanku.

Hidupku tanpa masa depan.

Kini aku kantongi tanganku.

Aku berjalan mengembara.

Aku akan menulis kata-kata kotor

di meja rektor

Share your love

One comment

  1. Keaslian Ide
    5
    Elemen Kejutan
    4
    Kekuatan Emosi
    4
    Kedalaman Makna
    4
    Keindahan Bahasa
    3
    4/5
    OVERALL SCORE

    Puisi “Sajak Tangan” dengan cerdik menggambarkan perjalanan seorang mahasiswa yang berjuang melawan ketidakpastian dan tantangan hidup. Penggunaan tangan sebagai simbol dalam puisi ini sangat kuat; ia tidak hanya merepresentasikan identitas individu, tetapi juga mewakili berbagai lapisan masyarakat yang saling terhubung dalam sebuah narasi yang lebih besar. Bahasa yang digunakan terasa lugas namun puitis, memadukan realitas pahit dan harapan yang samar. Penulis berhasil mengeksplorasi tema ketidakadilan sosial dengan menyentuh sisi emosional yang dalam, mengajak pembaca untuk merenungkan posisi mereka dalam struktur masyarakat. Namun, meskipun puisinya kaya akan makna, beberapa frasa terasa repetitif dan dapat diperhalus untuk meningkatkan keindahan bahasa. Elemen kejutan dalam puisi ini terletak pada kekuatan penutupan, di mana penulis berani mengekspresikan kemarahan dan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan. Secara keseluruhan, “Sajak Tangan” adalah karya yang menggugah pikiran dan mampu menyentuh hati, meskipun masih ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut dalam hal keindahan bahasa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *