
kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu.
Puisi “Sajak Orang Lapar” berhasil menyentuh emosi pembaca melalui gambaran yang kuat dan simbolis tentang kelaparan. Penulis menggunakan perumpamaan burung gagak untuk menciptakan suasana gelap dan menakutkan, mencerminkan penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang kelaparan. Gaya bahasa yang repetitif dan melankolis, seperti pengulangan frasa “o Allah!” memberikan kedalaman emosional yang menyentuh hati. Namun, meskipun kekuatan emosinya sangat mengesankan, ada kalanya penggunaan metafora terasa berlebihan, yang dapat mengurangi keindahan bahasa. Ide tentang kelaparan sebagai iblis dan pemberontakan sangat orisinal, menciptakan konteks sosial yang relevan. Di sisi lain, kedalaman makna dalam menggambarkan kehormatan yang terinjak oleh kelaparan memberikan refleksi yang mendalam tentang kondisi kemanusiaan. Elemen kejutan hadir dalam kontras antara deskripsi kelaparan yang sangat kelam dengan harapan akan sepiring nasi dan secangkir kopi. Secara keseluruhan, puisi ini memberikan pengalaman membaca yang mendalam dan menggugah kesadaran sosial.