
Ada suara bising di bawah tanah.
Ada suara gaduh di atas tanah.
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya
ada tentara marah-marah.
Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
Aku melihat isyarat-isyarat.
Semua tidak jelas maknanya.
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
menggangu pemandanganku.
Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Pendengaran dan penglihatan
menyesakkan perasaan,
membuat keresahan
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
Tak ada yang tahu.
Betapa kita akan tahu,
kalau koran-koran ditekan sensor,
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
Kini sudah diganti mata yang resmi.
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
Kita hanya diberi gambara model keadaan
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
Mata rakyat sudah dicabut.
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan.
Mata pemerintah yang sejati
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
Sedangkan laporannya
mirp pandangan mata kuda kereta
yang dibatasi tudung mata.
Dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah.
Rakyat marah, pemerinta marah,
semua marah lantara tidak punya mata.
Semua mata sudah disabotir.
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
Puisi “Sajak Mata-mata” dengan cermat menangkap suasana ketidakpastian yang melanda masyarakat dalam menghadapi informasi yang dikontrol dan dibatasi. Penggunaan repetisi frasa ‘Aku tak tahu’ secara efektif menciptakan rasa kebingungan dan keresahan, yang sangat relevan dengan konteks sosial-politik saat ini. Gaya penulisan yang menggugah, menggabungkan elemen visual dan auditori, memberikan dampak emosional yang kuat kepada pembaca. Dalam hal keindahan bahasa, penulis berhasil menciptakan imaji yang tajam dan menarik, meskipun ada beberapa bagian yang terasa agak berlebihan. Dari segi keaslian ide, puisi ini menawarkan perspektif yang unik tentang ‘mata’ sebagai simbol pengawasan dan kontrol, menjadikannya relevan di era disinformasi. Kedalaman makna yang terkandung di dalamnya mendorong pembaca untuk merenungkan tentang kebebasan berpendapat dan hak atas informasi yang benar. Namun, elemen kejutan dalam puisi ini agak minim, karena banyak tema yang telah sering diangkat dalam karya sastra lainnya. Secara keseluruhan, “Sajak Mata-mata” adalah karya yang menantang dan bernilai, dengan potensi untuk menggugah kesadaran pembaca.