
Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu sebagai rembulan.
Ingat,
jangan sekali-kali. Jangan.
Baik, Tuan.
Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu sebagai rembulan.
Ingat,
jangan sekali-kali. Jangan.
Baik, Tuan.
Puisi “Menjenguk Wajah di Kolam” menyajikan sebuah refleksi yang mendalam tentang pencarian identitas dan keinginan untuk memahami diri sendiri. Dengan penggunaan repetisi yang kuat pada frasa “Jangan sekali-kali”, penulis berhasil menciptakan nuansa yang mendesak dan penuh emosi. Pemilihan kata seperti “wajah yang merasasia-sia” dan “rembulan” memberikan kontras yang menarik, menyoroti perasaan keraguan dan harapan yang bertentangan. Meskipun tampak sederhana, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana persepsi orang lain dapat memengaruhi kita. Namun, beberapa elemen bahasa yang digunakan terasa agak klise, dan bisa jadi lebih inovatif untuk membawa keaslian yang lebih mendalam. Secara keseluruhan, puisi ini berhasil menyentuh emosi dan mengundang pemikiran, meskipun ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut dalam hal keindahan bahasa dan kejutan yang disajikan.