
parit susut
tanah kerontang
langit mengkilau perak
matahari menggosongkan pipi
gentong kosong
beras segelas cuma
masak apa kita hari ini
pakis-pakis hijau
bawang putih dan garam
kepadamu kami berterima kasih
atas jawabanmu
pada sang lapar hari ini
gentong kosong
airmu kering
ciduk jatuh bergelontang
minum apa hari ini
sungai-sungai pinggir hutan
yang menolong di panas terik
dan kalian pucuk-pucuk muda daun pohon karet
yang mendidih bersama ikan teri di panci
jadilah tenaga hidup kami hari ini
dengan iris-irisan ubi keladi
yang digoreng dengan minyak
persediaan terakhir kami
gentong kosong
botol kosong
marilah menyanyi
merayakan hidup ini
6 Januari 97
Puisi “Gentong Kosong” berhasil menyentuh emosi pembaca melalui gambaran yang sangat puitis mengenai ketidakcukupan dan harapan. Penggunaan kata-kata seperti “gentong kosong” dan “airmu kering” mengisyaratkan perasaan kehilangan yang mendalam, namun sekaligus ada nuansa syukur dalam ungkapan terima kasih kepada alam. Keindahan bahasa terletak pada pilihan diksi yang sederhana namun kuat, menciptakan imaji yang hidup dan terasa akrab. Imaji alam yang dihadirkan, seperti “sungai-sungai pinggir hutan” dan “pucuk-pucuk muda daun pohon karet”, memberikan kesan segar dan alami. Keaslian ide juga terlihat jelas, di mana puisi ini merefleksikan hubungan manusia dengan alam dan pentingnya keberlangsungan hidup. Namun, ada sedikit kekurangan dalam kedalaman makna, karena meskipun puisi ini menyentuh tema universal tentang kebutuhan dan harapan, ia tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang konsekuensi dari kondisi tersebut. Elemen kejutan dalam puisi ini kurang terasa, meskipun ada keindahan dalam kesederhanaannya. Secara keseluruhan, “Gentong Kosong” adalah karya yang indah dan patut diapresiasi, meskipun masih ada ruang untuk eksplorasi lebih dalam.