
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Puisi “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang” menyuguhkan gambaran yang mendalam tentang pergulatan batin seorang prajurit sebelum menghadapi perang. Dengan penggunaan diksi yang kuat dan metafora yang menggugah, penulis berhasil menciptakan suasana yang mencekam dan penuh emosi. Kontras antara keinginan untuk membunuh dan kesadaran akan dosa menambah lapisan kompleksitas dalam puisi ini. Ada nuansa kesedihan yang mendalam saat menggambarkan kehilangan dan kehampaan akibat perang, yang tercermin dalam kalimat-kalimat yang tegas dan lugas. Keindahan bahasa yang digunakan, meski terkesan kelam, tetap memiliki ritme yang harmonis, menciptakan pengalaman yang mengena bagi pembaca. Ide tentang doa yang diucapkan dalam konteks perang adalah sesuatu yang unik dan jarang dijumpai, memberikan perspektif baru terhadap tema kekerasan. Namun, meskipun puisi ini sarat dengan makna, elemen kejutan yang dihadirkan bisa jadi lebih diperkuat, agar pembaca merasa lebih terhentak. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan karya yang kuat dan menggugah, memancarkan emosi yang luar biasa melalui bahasa yang indah dan ide yang brilian.