
30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran dekat danau.
Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.
Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin berjalin dengan basah
pucuk andilau
ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,
bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,
mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.
Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal
dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:
masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya kata.
Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul
dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.
Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.
30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi di sini.
Puisi “30 Tahun Kemudian” menghadirkan sebuah pemandangan yang melankolis dan penuh refleksi tentang waktu dan pertemuan. Dalam cuplikan ini, penulis berhasil menangkap esensi dari pertemuan yang sarat dengan kenangan, diselingi dengan nuansa nostalgia yang kuat. Gaya bahasa yang digunakan, meskipun terkadang padat dan kompleks, menciptakan suasana yang mendalam dan mengajak pembaca merenung. Imaji yang dihadirkan, seperti ‘hujan dan kenangan berhimpitan’ dan ‘masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim’, menunjukkan keahlian penulis dalam menggambarkan perasaan yang rumit. Namun, beberapa bagian terasa agak sulit dipahami, sehingga mengurangi keindahan keseluruhan. Meskipun demikian, ide tentang perjalanan waktu dan refleksi atas kehidupan sangat orisinal, dan memberikan kedalaman makna yang dapat diresapi. Elemen kejutan di akhir puisi, di mana perpisahan menjadi sangat nyata, menambah dimensi emosional yang kuat. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan karya yang menggugah dan layak diapresiasi, meskipun ada ruang untuk penyempurnaan dalam penyampaian bahasa.