
Di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
Di dalam rumah miring ini
Kami mencium selokan dan sampan
Bagi kami setiap hari adalah kebisingan
Di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
Bersama tumpukan gombal-gombal
Dan piring-piring
Di sini kami bersetubuh dan melahirkan
Anak-anak kami
Di dalam rumah miring ini
Kami melihat matahari menyelinap
Dari atap ke atap
Meloncati selokan
Seperti pencuri
Radio dari segenap penjuru
Tak henti-hentinya membujuk kami
Merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
Sandiwara obat-obatan
Dan berita-berita yang meragukan
Kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
Tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding
Kami harus angkat kaki
Karena kami adalah gelandangan
Solo, Oktober 87
Puisi “Suara dari Rumah-Rumah Miring” menggambarkan kehidupan yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Penggambaran yang sangat kuat tentang kebisingan dan kesesakan di dalam rumah yang miring menciptakan suasana yang mendalam dan realistis. Penulis berhasil menangkap esensi kehidupan sehari-hari para gelandangan, dengan detail yang sangat konkret, seperti ‘cicit tikus’ dan ‘tumpukan gombal-gombal’, yang menciptakan visualisasi yang kuat. Keindahan bahasa yang digunakan, meskipun terkesan sederhana, mampu menyampaikan emosi yang dalam dan menggugah. Ada nuansa keputusasaan namun juga harapan, terutama dalam pengharapan akan masa depan anak-anak. Ide untuk menggunakan rumah miring sebagai simbol kehidupan yang tidak seimbang dan penuh tantangan adalah sesuatu yang menarik dan orisinal. Kedalaman makna puisi ini terletak pada kontras antara impian dan kenyataan pahit yang dihadapi, yang membuat pembaca merenungkan kondisi sosial yang lebih luas. Namun, elemen kejutan dalam puisi ini terasa kurang, karena tema yang diangkat cukup umum dalam konteks sastra. Secara keseluruhan, puisi ini memberikan resonansi emosional yang kuat dan menggugah kesadaran.