
Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan..
harus senantiasa menghasilkan.
Dan akhirnya memaksa negara lain
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
.
Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika.
Puisi “Sajak Sebotol Bir” menghadirkan gambaran yang kuat tentang kesenjangan sosial dan kritik terhadap pembangunan yang tidak berkelanjutan. Penulis dengan lihai menggunakan metafora ‘sebotol bir’ sebagai simbol pelarian dari kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat. Kekuatan emosi dalam puisi ini sangat terasa, terutama saat penulis menyoroti penderitaan masyarakat desa yang terpinggirkan oleh pembangunan kota besar. Keindahan bahasa juga tampak dalam pemilihan kata yang lugas namun puitis, meski terkadang terasa agak berat. Ide yang diusung sangat orisinal, mengajak pembaca untuk merenungkan kembali arah pembangunan yang kita jalani saat ini. Kedalaman makna yang terkandung dalam puisi ini sangat mengesankan, dengan banyak pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran kita tentang kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan. Namun, elemen kejutan dalam puisi ini terasa kurang, karena beberapa gagasan yang disampaikan sudah cukup umum dalam diskursus sosial. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan karya yang sangat bermakna dan relevan.