
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Puisi “Rumahku” menyajikan gambaran yang sangat kuat tentang tempat yang bukan sekadar fisik, melainkan juga emosional. Penggunaan metafora “unggun-timbun sajak” menciptakan citra yang indah, menunjukkan bahwa rumah adalah hasil dari ungkapan hati dan seni. Selain itu, pergeseran antara kenyataan dan imajinasi, seperti saat penulis “terbang entah ke mana”, memberikan nuansa ketidakpastian yang menyentuh. Namun, ada sedikit kekurangannya dalam penyampaian yang bisa lebih halus agar emosi yang ingin disampaikan lebih terasa mendalam. Keindahan bahasa yang digunakan cukup menarik, meski ada beberapa frasa yang terasa sedikit kaku. Secara keseluruhan, puisi ini berhasil menyampaikan rasa cinta dan kerinduan terhadap rumah, meskipun beberapa bagian bisa lebih dikembangkan untuk menambah kedalaman makna. Elemen kejutan cukup terasa dalam transisi antara nostalgia dan realitas, walau tidak terlalu mencolok. Dengan demikian, puisi ini merupakan karya yang patut diapresiasi, meski masih ada ruang untuk perbaikan.