
apakah hatiku mangkuk kecil yang pecah —
yang alangkah mudah diisi, namun mustahil
penuh? apakah mencintai diri sendiri berarti
menjadi batu yang dilemparkan ke lautan lepas
tanpa dasar? mengapa darah lebih api daripada api?
mengapa luka tidak memaafkan pisau — & mata
pisau bisa membayangkan dirinya sebagai cermin?
mengapa kita mesti memiliki banyak pengetahuan
untuk bisa memahami betapa sedikit pengetahuan
kita? mengapa orang kota bersandar pada humor
untuk bisa bertahan hidup & mengapa orang desa
harus bertahan hidup untuk bisa tertawa? mengapa
usia seseorang tidak dihitung dari seberapa dekat
dia dari kematian? bukankah manusia sudah terlalu
tua sekarang? (seperti puisi ini, tidakkah hidupmu
sudah dituliskan — & ditafsirkan orang lain, bahkan
sebelum kamu bisa membacanya?)
.
Puisi “Pertanyaan-Pertanyaan” ini menciptakan suasana refleksi yang mendalam melalui serangkaian pertanyaan yang menggugah. Setiap barisnya menggambarkan kerentanan dan keingintahuan penulis akan kehidupan, cinta, serta eksistensi manusia. Penggunaan metafora yang kuat, seperti ‘hatiku mangkuk kecil yang pecah’, memberikan kekuatan emosional yang mendalam, mengekspresikan perasaan yang kompleks dengan cara yang sederhana namun sangat menyentuh. Selain itu, ritme pertanyaan yang berulang menciptakan ketegangan dan kecemasan, seolah-olah penulis berusaha mencari makna di tengah kebingungan yang ada. Dalam hal keindahan bahasa, pilihan kata yang cermat dan struktur yang tidak terduga memberikan kesan artistik yang memikat. Ide-ide yang diangkat pun terasa orisinal dan relevan, terutama dalam konteks pencarian identitas dan makna di era modern ini. Namun, meskipun kedalaman makna sangat kuat, beberapa pembaca mungkin merasa kesulitan untuk sepenuhnya memahami semua pertanyaan yang diajukan, sehingga elemen kejutan tidak sepenuhnya terwujud. Secara keseluruhan, puisi ini berhasil mengajak pembacanya untuk merenung dan bertanya lebih dalam tentang kehidupan, dengan keindahan dan keaslian yang patut diacungi jempol.