
Malaikat yang belum bernama
menghempaskan sayapnya yang berat
ke ladang itu.
Sedetik kemudian sunyi jadi besi.
Tapi dua teriak anak
menembusnya –
tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela,
mungkin tanda yang mereka pasang
untuk ibu yang tak pulang setahun lalu
lari dari malam yang tuli,
sunyi yang besi, hitam yang rata,
di atas dusun –
Berikan kembali
kitiran kami.
Berikan kembali
kitiran kami.
Kulihat malaikat itu menutup matanya.
Ayo, nak, teriak lagi, kataku.
Tapi mereka diam.
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.
”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya)
”tapi aku tak mau kau
memanggilku.”
2018
Puisi “Di Sebuah Ladang” menyajikan gambaran yang kuat dan emosional, mengisyaratkan kehadiran malaikat yang memunculkan perasaan kerinduan dan kehilangan. Dengan penggunaan kata-kata yang sederhana namun mendalam, penyair berhasil merangkai suasana sunyi yang berubah menjadi tegang, di mana suara anak-anak dan malaikat berinteraksi dalam kesunyian. Penggambaran malaikat yang ‘menutup matanya’ dan menyebut dirinya ‘Nasib’ memberikan nuansa reflektif tentang takdir dan harapan yang hilang. Elemen kejutan dalam puisi ini terletak pada pengenalan sosok malaikat yang seharusnya membawa harapan, tetapi malah terjebak dalam kesedihan dan kehilangan. Secara keseluruhan, puisi ini menyentuh hati dan membangkitkan rasa empati, meskipun ada beberapa bagian yang bisa diperhalus untuk meningkatkan keindahan bahasa. Karya ini mencerminkan keaslian ide yang menarik dan kedalaman makna yang dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi penyair untuk menggabungkan emosi, keindahan, dan makna dalam satu karya.