
Monumen bambu runcing
Di tengah kota
Menuding dan berteriak merdeka
Di kakinya tak jemu juga
Pedagang kaki lima berderet-deret
Walau berulang-ulang
Dihalau petugas ketertiban
Semarang, 1 Maret 86
Monumen bambu runcing
Di tengah kota
Menuding dan berteriak merdeka
Di kakinya tak jemu juga
Pedagang kaki lima berderet-deret
Walau berulang-ulang
Dihalau petugas ketertiban
Semarang, 1 Maret 86
Puisi “Monumen Bambu Runcing” berhasil menciptakan gambaran yang kuat tentang simbol perjuangan di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menyiratkan ketegangan antara sejarah dan realitas sehari-hari. Frasa “Menuding dan berteriak merdeka” menggambarkan semangat perjuangan yang tidak pernah padam, meskipun di sekelilingnya terdapat pedagang kaki lima yang melanjutkan rutinitas mereka. Kontras antara monumen sebagai simbol nasionalisme dan aktivitas pedagang kaki lima menciptakan dinamika yang menarik, menunjukkan bahwa sejarah dan kehidupan sehari-hari saling terkait. Namun, meski puisi ini menyentuh tema yang kuat, elemen kejutan terasa kurang, dan beberapa pembaca mungkin mengharapkan eksplorasi lebih dalam terhadap emosi yang terlibat. Secara keseluruhan, puisi ini memberikan gambaran yang puitis dan reflektif tentang identitas dan perjuangan, meski ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut dalam aspek kejutan dan kedalaman makna.