
Seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
di dalam keyakinan kami
di mana pun – tiran harus tumbang!
Solo, 87-88
Puisi “Bunga dan Tembok” berhasil menangkap ketegangan antara harapan dan penindasan dengan sangat efektif. Penggunaan metafora bunga yang tidak diinginkan melambangkan keindahan yang terabaikan di tengah kekuasaan yang represif, menciptakan resonansi emosional yang mendalam. Gaya bahasa yang lugas namun puitis menggugah rasa simpati pembaca, membuat kita merenungkan realitas sosial yang ada. Selain itu, pengulangan frasa ‘seumpama bunga’ memperkuat pesan bahwa meskipun tertekan, harapan tetap ada untuk tumbuh. Keaslian ide yang diangkat sangat relevan dalam konteks perjuangan melawan penindasan, memberikan perspektif yang segar. Kedalaman makna puisi ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih jauh tentang dampak dari kekuasaan dan perjuangan untuk kebebasan. Meskipun tidak banyak elemen kejutan, penutupan puisi yang mengisyaratkan keyakinan dalam perubahan memberikan harapan yang kuat. Secara keseluruhan, puisi ini adalah karya yang menggugah dan mendalam, mencerminkan kekuatan suara yang terpinggirkan dalam masyarakat.