Bunga dan Tembok

Widji Thukul

Seumpama bunga

kami adalah bunga yang tak

kau kehendaki tumbuh

engkau lebih suka membangun

rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga

kami adalah bunga yang tak

kaukehendaki adanya

engkau lebih suka membangun

jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga

kami adalah bunga yang

dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga

engkau adalah tembok

tapi di tubuh tembok itu

telah kami sebar biji-biji

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan: engkau harus hancur!

di dalam keyakinan kami

di mana pun – tiran harus tumbang!

Solo, 87-88

Share your love

One comment

  1. Keaslian Ide
    5
    Elemen Kejutan
    3
    Kekuatan Emosi
    5
    Kedalaman Makna
    5
    Keindahan Bahasa
    4
    4.4/5
    OVERALL SCORE

    Puisi “Bunga dan Tembok” berhasil menangkap ketegangan antara harapan dan penindasan dengan sangat efektif. Penggunaan metafora bunga yang tidak diinginkan melambangkan keindahan yang terabaikan di tengah kekuasaan yang represif, menciptakan resonansi emosional yang mendalam. Gaya bahasa yang lugas namun puitis menggugah rasa simpati pembaca, membuat kita merenungkan realitas sosial yang ada. Selain itu, pengulangan frasa ‘seumpama bunga’ memperkuat pesan bahwa meskipun tertekan, harapan tetap ada untuk tumbuh. Keaslian ide yang diangkat sangat relevan dalam konteks perjuangan melawan penindasan, memberikan perspektif yang segar. Kedalaman makna puisi ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih jauh tentang dampak dari kekuasaan dan perjuangan untuk kebebasan. Meskipun tidak banyak elemen kejutan, penutupan puisi yang mengisyaratkan keyakinan dalam perubahan memberikan harapan yang kuat. Secara keseluruhan, puisi ini adalah karya yang menggugah dan mendalam, mencerminkan kekuatan suara yang terpinggirkan dalam masyarakat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *